A Self-reminder : Simple Words Matter

by - Saturday, October 13, 2018


simple words matter


Pernahkah kita menyadari bahwa kata-kata atau pertanyaan yang kita ucapkan mungkin saja bermakna berbeda bagi lawan bicara kita? Meskipun yang kita ajak bicara adalah teman dekat atau saudara sendiri? Sebuah kalimat yang kita anggap lucu, bisa saja menyinggung perasaan orang-orang dengan latar belakang tertentu. Sebuah kalimat yang menurut kita sepele, bisa saja bagi orang lain adalah sebuah kalimat yang sangat berpengaruh baginya.  Sebuah kalimat yang biasa kita ucapkan, bisa saja melukai orang lain.

“Gitu aja baper, biasa aja kali”

Dengan atau tanpa kita sadari, kata-kata yang terucap dari mulut kita turut berperan mempengaruhi kehidupan seseorang, mempengaruhi bagaimana cara dia berpikir dan bersikap dalam kesehariannya. Bisa membuatnya takut untuk berbuat baik, atau malah mendorongnya melakukan hal-hal yang tidak baik.

“Ini artinya kita peduli”

Jalan hidup yang sudah dipilih seseorang lengkap beserta segala risikonya adalah hak orang tersebut untuk menjalaninya.

Tidak ada yang tahu alasan seseorang memilih satu jalan hidup. Tidak mudah untuk memahami manusia, bahkan oleh manusia itu sendiri.  Tidak mudah juga untuk tidak berburuk sangka atas ketidaktahuan kita.

Kenyataan yang kerap terjadi di masyarakat kita adalah orang-orang yang lebih banyak jumlahnya menciptakan sebuah pandangan negatif terhadap satu jalan hidup yang ‘berbeda’ yang dipilih seseorang. Menciptakan dinding pemisah, menjadikannya bahan tertawaan, atau bahkan mengucilkannya.

Padahal orang tersebut tidak berbuat kejahatan, tidak membunuh, tidak mencuri, tidak mengganggu orang-orang di sekitarnya. Dia bekerja di saat orang lain tertidur lelap. Dia menolong orang lain. Dia ikut menjadi sukarelawan bencana alam. Dia mengajarkan anak-anak ilmu pengetahuan.

Dia adalah orang yang baik. Hanya saja dia memiliki sudut pandang berbeda. Memiliki keputusan dan jalan hidup berbeda. Memiliki latar belakang berbeda. Memiliki tingkat kemampuan yang berbeda. Memiliki tampilan fisik yang berbeda.

Tanpa kita sadari, kita sudah turut berbuat jahat kepada orang lain atas nama ‘kepedulian’

Kalau seperti itu jadinya, bukankah lebih baik tidak ada kepedulian lagi?

Memang benar, sebagai manusia kita memiliki rasa peduli untuk memberi bantuan kepada orang lain. Namun, haruskah sebuah kepedulian dibungkus dengan kata-kata dan sikap yang melukai? Bagaimana kepedulian kita bisa dipahami, jika dari bungkusnya saja sudah ditolak mentah-mentah?

Lalu kita harus bagaimana?

Tidak semua orang yang kita temui butuh nasihat atau saran dari kita. Dia sudah lebih dulu mengetahui apa yang harus dia lakukan. Dia sudah memiliki rencana jangka panjang untuk melakukan kebaikan. Dia sudah sedikit demi sedikit berjuang untuk hidupnya. Dia sudah mempertimbangkan sisi positif dan sisi negatif dari keputusan yang diambilnya setelah berpikir sangat lama.  Dia sedang bekerja keras.

Dia sudah banyak menerima kata-kata yang tidak baik dari orang-orang di sekitarnya yang hanya melihat  dari luarnya saja.

Dia sudah lelah dengan kata-kata yang sama.

Di suatu waktu, dia hanya butuh didengarkan. Dia tidak ingin dihakimi. Dia hanya ingin seseorang dengan lembut mengatakan “Semua akan baik-baik saja” “Aku yakin kamu bisa”



You May Also Like

8 comments

  1. Aku terharu baca tulisan ini, sangat mewakili perasaanku beberapa waktu ini, thank you so much for writing this :')

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya agak curhat juga sih, hehe. Makasih juga mbak Silvya sudah membaca postingan ini, semoga bermanfaat ^^

      Delete
  2. Note to self: berusaha untuk mengingat bahwa bukan hak kita untuk menghakimi orang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar sekali mbak Dyah. Nulis blog sambil mengingatkan diri sendiri ^^

      Delete
  3. Memang tidak mudah memahami manusia, terkadang rasa paling benar sering muncul. tapi ternyata harus mulai mengontrol. Baca tulisan ini seperti ditampar.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar sekali, meski sesama manusia, sesama saudara kandung juga masih sulit memahami. Makasih mbak Ahalona sudah mampir, semoga bermanfaat ^^

      Delete
  4. aku sering banget nih, menyesali apa yang spontan aku ucapkan. :(
    kadang kebawa emosi nih ngomong sesuatu yang agak sensitif sama orang lain. tapi satu detik berikutnya aku langsung menyesal gitu :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai mbak Annisa, terimakasih sudah mampir. Saya juga kadang begini, di satu waktu ada orang yang memang berkata tidak sopan ke saya, saya jadi meninggikan suara. Setelah itu saya menyesal :"

      Delete

Comment moderation is on. Send your comments using Google account or blog URL, so that I can visit your blog next time :) Thank you

This Blog is protected by DMCA.com
DMCA.com for Blogger blogs