Mari Belajar dari Jepang : Secuil tentang Perilaku Sadar Bencana
Beberapa hari lalu, saya
mendapat kabar gempa bumi 6.7 SR melanda bagian utara Jepang yaitu Hokkaido
sekitar pukul 3 dini hari, disusul dengan gempa 5.3 SR kurang dari 20 menit
setelahnya. Berbagai foto dan video dari warga setempat mengenai kondisi
Hokkaido saat itu beredar dengan cepat di media sosial terutama twitter.
Kondisi jalanan rusak, terjadi tanah longsor, pemadaman listrik yang berakibat
pada terputusnya sambungan telepon dan siaran televisi, serta ditutupnya semua
jadwal kereta dan semua penerbangan dari dan menuju Bandara Chitose. Menurut NHK NEWSLINE,
terdapat ratusan orang luka-luka, 26 orang masih belum ditemukan, dan 6 orang
dilaporkan tewas karena tertimbun tanah longsor. Bencana gempa bumi ini
bukanlah satu-satunya bencana yang terjadi di Negeri Matahari Terbit tersebut
di musim panas tahun ini, sebelumnya sudah terjadi bencana banjir yang
diakibatkan oleh hujan lebat hingga menewaskan ratusan orang di bulan Juli,
gelombang panas hingga 42 derajat celcius yang menewaskan sekitar 80 orang, dan
baru-baru ini sehari sebelum gempa Hokkaido, angin topan Jebi yang merupakan salah satu yang terparah
dalam 25 tahun terakhir menyebabkan ditutupnya Bandara Internasional Kansai dan
menyebabkan ratusan orang luka-luka.
source : NHK World Japan |
Namun
bagaimana Jepang bisa menghadapi bencana yang terus berdatangan untuk kembali
bangkit?
Seperti yang telah diketahui
oleh publik bahwa Jepang adalah yang terbaik dalam penanganan bencana. Diakui
oleh Marc S. Forni, Lead Disaster Risk Management specialist bahwa Jepang
adalah ahlinya dalam bidang tersebut. Menurutnya, sangat penting bagi
negara-negara lain untuk belajar mengenai Sistem Manajemen Bencana yang efektif
dan kontekstual dari Jepang, untuk melihat bagaimana teori-teori dipraktekkan
secara nyata.
Jepang sudah menerapkan sistem
yang detail dikombinasikan dengan teknologi yang canggih dalam penanganan
bencana, namun semua sistem ini tidak akan berjalan, jika tidak ada kesadaran
dari masing-masing individu untuk menggali pengetahuan seputar bencana dan
mempersiapkan diri menghadapinya.
Menurut jurnal yang
dipublikasikan Kaori Kitagawa, terdapat 4 elemen dalam Manajemen Bencana di
Jepang yaitu :
1. Jijo (self-help)
2. Gojo (mutual aid
between family, neighbour, friends, community members)
4. Kyojo (mutual aid
between strangers)
3. Kojo (public aid)
Jijo meliputi kesadaran untuk
mempersiapkan diri menghadapi bencana yang datang dari masing-masing individu,
hingga kemampuan mengambil keputusan yang tepat berkaitan dengan keselamatan
saat terjadinya bencana. Di Jepang, jijo (self help) sudah diturunkan
dari generasi ke generasi melalui sonae areba urei nashi (jika kamu
sudah siap, kamu tidak perlu khawatir) dan saigai wa wasureta koro ni
yattekuru (bencana akan terjadi padamu jika kamu melupakannya).
Tidak hanya berhenti pada
perkataan yang ditularkan dari generasi sebelumnya ke generasi muda, namun
pemerintah Jepang juga memasukkan pembelajaran persiapan bencana dalam
kurikulum pendidikan sejak sekolah dasar. Jepang mengharuskan tiap
prefektur/daerah merancang sendiri rencana manajemen bencana berdasarkan
kebutuhan daerah tersebut secara spesifik
yang nantinya bisa diterapkan langsung dalam pembelajaran di sekolah (kojo).
Jepang meyakini bahwa pendidikan tentang persiapan menghadapi bencana ini akan
berjalan efektif jika diterapkan sejak dini.
Hal ini dibuktikan dengan
peristiwa yang dikenal sebagai Kamaishi no Kiseki atau
The Miracle of Kamaishi, pada 11
Maret 2011. Saat bencana gempa 9.0 SR menimpa Jepang, sekitar 3000 murid di
Kamaishi melakukan respon cepat dengan menyelamatkan diri ke tempat yang lebih
tinggi. Tindakan ini mendorong warga sekitar untuk bergerak ikut mengungsi.
Apa hasilnya?
Kota ini melaporkan sekitar
1000 orang hilang akibat bencana tsunami yang melanda tidak lama setelah gempa
bumi besar tersebut, 5 diantaranya anak-anak usia sekolah yang tidak pergi ke
sekolah pada hari itu. Jumlah ini lebih kecil dari daerah lain yang penduduknya
terlambat melakukan evakuasi.
Dari sini, kita mempelajari
bahwa keselamatan seseorang adalah tanggung jawab dirinya sendiri. Memang hal
yang wajar jika seseorang tidak mau mengungsi di dalam kondisi dimana
orang-orang di sekitarnya tidak melakukannya. Maka, kesadaran akan keselamatan
diri ini sangat penting ditanamkan sejak dini, sehingga seseorang mampu
mengambil keputusan yang tepat berkaitan dengan keselamatan jiwa dan mampu
mendorong orang lain untuk menyelamatkan diri (gojo/kyojo), sehingga
korban jiwa bisa diminimalisir.
Di sekolah saya tidak ada mata
pelajaran khusus mengenai persiapan bencana, lalu bagaimana?
source : BNPB Indonesia |
Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) melalui akun officialnya baik di instagram maupun twitter sudah
membagikan infografis menarik mengenai perilaku sadar bencana ini, mulai dari
prabencana, saat bencana hingga pasca bencana. Kita dianjurkan memiliki satu
tas yang berisi makanan, obat, pakaian, dan perlengkapan darurat saat bencana
yang bisa digunakan hingga 3 hari. Infografis tersebut berdasarkan Buku Saku Tanggap Tangkas Tangguh
Menghadapi Bencana resmi dari BNPB yang bisa langsung di-download gratis di
website resmi Perpustakaan BNPB. Buku saku ini sangat lengkap, terdapat panduan
persiapan hingga tindakan pasca bencana mulai dari bencana gempa bumi hingga
kekeringan.
source : BNPB Indonesia |
Selain buku saku, kita juga bisa men-download buku-buku lain
seputar bencana seperti Panduan
Kesiapsiagaan Bencana untuk Keluarga, tinggal memasukkan kata kunci buku
yang dicari pada kolom pencarian di halaman utama website.
source : BNPB Indonesia |
Selain itu BNPB juga membuka
kesempatan untuk siapapun yang ingin berkunjung ke diorama BNPB dan mempelajari
seputar bencana dengan mengirimkan email pengajuan.
source : BNPB Indonesia |
Bagaimana
saya mengetahui potensi bencana apa saja yang ada di wilayah saya?
Kita dapat mengakses website
inaRISK yang merupakan portal yang menyajikan gambaran ancaman bencana,
populasi terdampak, potensi kerugian hingga potensi kerusakan lingkungan. Kita juga
dapat men-download e-book inaRISK Panduan Mengetahui Risiko Bencana dan Risiko Bencana Indonesia melalui menu pada halaman utamanya. Informasi risiko bencana ini sangat
berfungsi bagi kita untuk mengenal bahaya apa saja yang mungkin terjadi di
wilayah kita, karena setiap wilayah memiliki kemungkinan bencana yang
berbeda-beda, sehingga kita bisa lebih mempersiapkan diri menghadapi
kemungkinan terburuk.
source : inaRISK |
Pengetahuan seputar bencana ini
sangat penting diketahui dan dipahami bagi baik orang dewasa hingga anak-anak, karena jika kondisi
yang terburuk terjadi dan kita diharuskan mengungsi, bantuan dari pemerintah
setempat tentunya tidak bisa instan datang saat itu juga, saat itulah
pengetahuan dan kesiapan kita berfungsi untuk bertahan hidup di pengungsian
sebelum bantuan datang dan menjaga kita tetap tenang meskipun sedang dalam
kondisi yang terburuk. Kesiapan tiap individu dalam menghadapi bencana ini
hendaknya dijadikan sebagai keseharian. Prof. Katsuya Yamori merekomendasikan seikatsu
bosai (everyday preparedness) yang bertujuan untuk menanamkan kesiagaan
akan bahaya bencana dalam kegiatan sehari-hari, bukan sebagai kegiatan
pelengkap saja. Pada akhirnya sikap
waspada dan persiapan di keseharian masing-masing individu ini akan menjadi
kebiasaan dan budaya sadar bencana yang meningkatkan kemampuannya untuk hidup
bersama bencana, bukan hidup sebagai korban bencana.
Jika tidak terjadi bencana di
tempat saya, apa yang bisa saya lakukan untuk mewujudkan gojo / kyojo
(mutual aid) ?
Selain memberikan bantuan berupa
donasi dan menjadi relawan, kita dapat membantu secara tidak langsung dengan
menghindari dan memutus rantai hoax. Berita palsu sering beredar
terutama lewat media sosial yang sumbernya tidak diketahui akan memperparah
kondisi daerah yang terkena bencana, menyebarkan kecemasan pada korban bencana
atau bahkan membuat penduduk setempat enggan mengungsi dalam keadaan darurat.
Hal ini tentunya tidak akan sejalan dengan tujuan budaya siaga bencana untuk
mengurangi risiko akibat bencana. Ditambah lagi para korban bencana sudah
mengalami ketakutan mengenai bencana itu sendiri, ketakutan kehilangan keluarga
dan harta benda, dan juga ketakutan yang timbul saat mereka menyadari berapa
lama waktu yang dibutuhkan agar semuanya kembali pulih. Sehingga, selain
bantuan fisik , bantuan mental pun sangat dibutuhkan.
source : BNPB Indonesia |
Kita tidak perlu menunggu hingga teknologi
super canggih ditanamkan dalam sistem penanganan bencana di Indonesia. Kita
mulai dari sekarang, tingkatkan kesadaran tentang bahaya bencana, kenali bahayanya, kurangi risikonya. Saat kesadaran ini sudah menjadi bagian hidup
masyarakat, maka masyarakat sudah siap untuk selamat, bersama-sama
memimimalisir korban akibat bencana dan saling bantu dalam pemulihan pasca bencana.
Seperti yang dinyatakan dalam
akun twitter resmi BMKG, tidak ada teknologi yang mampu mengetahui secara
persis dimana dan kapan sebuah bencana akan terjadi. Hal ini juga dinyatakan
dalam berbagai artikel publikasi para peneliti Jepang. Bencana alam seperti
gempa bumi, tsunami, tanah longsor, maupun angin topan tidak bisa dicegah
datangnya, yang bisa dilakukan hanya meminimalisir jumlah korban jiwa melalui
manajemen bencana alam yang terus diperbarui seiring waktu. Saya teringat
perkataan seorang teman dari Jepang bahwa mereka bukanlah sebuah negara yang
tiba-tiba ahli dalam manajemen bencana, mereka hanya terbiasa dan selalu
belajar dari bencana yang telah terjadi untuk terus memperbaiki sistem yang
ada. Kita pun seperti itu, kemampuan kita untuk menghadapi bencana, akan terus
berkembang jika budaya sadar bencana terus dihidupkan.
Pada akhirnya, tidak ada yang
terjadi tanpa tujuan, begitu pula bencana. Bencana datang entah untuk
memperingatkan manusia untuk lebih memperhatikan alam, untuk membuat manusia
lebih menghargai kebaikan sesamanya, atau untuk menguji sejauh mana kemampuan
manusia untuk bangkit kembali. Mari kita belajar untuk membangkitkan kesadaran
menghadapi bencana dimulai dari diri sendiri. Mari membuat Indonesia menjadi
lebih baik lagi.
Referensi :
1) LIVE BLOG : Hokkaido Earthquake, NHK NEWSLINE
2) Kitagawa,
Kaori (2016) ‘Disaster preparedness, adaptive politics and lifelong learning:
a case of Japan’, International
Journal of Lifelong Education, 35(6), pp. 629-647
3) The Miracle of Kamaishi,
MADE IN NEW JAPAN
4) BNPB – Badan Nasional
Penanggulangan Bencana
5) Perpustakaan BNPB
6) Kitagawa, Kaori (2016)
‘Preparing for the Worst’, EASTASIAFORUM
7) inaRISK
(http://inarisk.bnpb.go.id/ )
0 comments
Comment moderation is on. Send your comments using Google account or blog URL, so that I can visit your blog next time :) Thank you