Mari Belajar dari Jepang : Secuil tentang Perilaku Sadar Bencana

by - Sunday, September 09, 2018



Beberapa hari lalu, saya mendapat kabar gempa bumi 6.7 SR melanda bagian utara Jepang yaitu Hokkaido sekitar pukul 3 dini hari, disusul dengan gempa 5.3 SR kurang dari 20 menit setelahnya. Berbagai foto dan video dari warga setempat mengenai kondisi Hokkaido saat itu beredar dengan cepat di media sosial terutama twitter. Kondisi jalanan rusak, terjadi tanah longsor, pemadaman listrik yang berakibat pada terputusnya sambungan telepon dan siaran televisi, serta ditutupnya semua jadwal kereta dan semua penerbangan dari dan menuju Bandara Chitose. Menurut NHK NEWSLINE, terdapat ratusan orang luka-luka, 26 orang masih belum ditemukan, dan 6 orang dilaporkan tewas karena tertimbun tanah longsor. Bencana gempa bumi ini bukanlah satu-satunya bencana yang terjadi di Negeri Matahari Terbit tersebut di musim panas tahun ini, sebelumnya sudah terjadi bencana banjir yang diakibatkan oleh hujan lebat hingga menewaskan ratusan orang di bulan Juli, gelombang panas hingga 42 derajat celcius yang menewaskan sekitar 80 orang, dan baru-baru ini sehari sebelum gempa Hokkaido, angin topan  Jebi yang merupakan salah satu yang terparah dalam 25 tahun terakhir menyebabkan ditutupnya Bandara Internasional Kansai dan menyebabkan ratusan orang luka-luka.

source : NHK World Japan


Namun bagaimana Jepang bisa menghadapi bencana yang terus berdatangan untuk kembali bangkit?
Seperti yang telah diketahui oleh publik bahwa Jepang adalah yang terbaik dalam penanganan bencana. Diakui oleh Marc S. Forni, Lead Disaster Risk Management specialist bahwa Jepang adalah ahlinya dalam bidang tersebut. Menurutnya, sangat penting bagi negara-negara lain untuk belajar mengenai Sistem Manajemen Bencana yang efektif dan kontekstual dari Jepang, untuk melihat bagaimana teori-teori dipraktekkan secara nyata.
Jepang sudah menerapkan sistem yang detail dikombinasikan dengan teknologi yang canggih dalam penanganan bencana, namun semua sistem ini tidak akan berjalan, jika tidak ada kesadaran dari masing-masing individu untuk menggali pengetahuan seputar bencana dan mempersiapkan diri menghadapinya.

Menurut jurnal yang dipublikasikan Kaori Kitagawa, terdapat 4 elemen dalam Manajemen Bencana di Jepang yaitu :
1. Jijo (self-help)
2. Gojo (mutual aid between family, neighbour, friends, community members)
4. Kyojo (mutual aid between strangers)
3. Kojo (public aid)
Jijo meliputi kesadaran untuk mempersiapkan diri menghadapi bencana yang datang dari masing-masing individu, hingga kemampuan mengambil keputusan yang tepat berkaitan dengan keselamatan saat terjadinya bencana. Di Jepang, jijo (self help) sudah diturunkan dari generasi ke generasi melalui sonae areba urei nashi (jika kamu sudah siap, kamu tidak perlu khawatir) dan saigai wa wasureta koro ni yattekuru (bencana akan terjadi padamu jika kamu melupakannya).

Tidak hanya berhenti pada perkataan yang ditularkan dari generasi sebelumnya ke generasi muda, namun pemerintah Jepang juga memasukkan pembelajaran persiapan bencana dalam kurikulum pendidikan sejak sekolah dasar. Jepang mengharuskan tiap prefektur/daerah merancang sendiri rencana manajemen bencana berdasarkan kebutuhan daerah tersebut secara spesifik  yang nantinya bisa diterapkan langsung dalam pembelajaran di sekolah (kojo). Jepang meyakini bahwa pendidikan tentang persiapan menghadapi bencana ini akan berjalan efektif jika diterapkan sejak dini.

Hal ini dibuktikan dengan peristiwa yang dikenal sebagai Kamaishi no Kiseki atau The Miracle of Kamaishi, pada 11 Maret 2011. Saat bencana gempa 9.0 SR menimpa Jepang, sekitar 3000 murid di Kamaishi melakukan respon cepat dengan menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi. Tindakan ini mendorong warga sekitar untuk bergerak ikut mengungsi.

Apa hasilnya?

Kota ini melaporkan sekitar 1000 orang hilang akibat bencana tsunami yang melanda tidak lama setelah gempa bumi besar tersebut, 5 diantaranya anak-anak usia sekolah yang tidak pergi ke sekolah pada hari itu. Jumlah ini lebih kecil dari daerah lain yang penduduknya terlambat melakukan evakuasi.

Dari sini, kita mempelajari bahwa keselamatan seseorang adalah tanggung jawab dirinya sendiri. Memang hal yang wajar jika seseorang tidak mau mengungsi di dalam kondisi dimana orang-orang di sekitarnya tidak melakukannya. Maka, kesadaran akan keselamatan diri ini sangat penting ditanamkan sejak dini, sehingga seseorang mampu mengambil keputusan yang tepat berkaitan dengan keselamatan jiwa dan mampu mendorong orang lain untuk menyelamatkan diri (gojo/kyojo), sehingga korban jiwa bisa diminimalisir.

Di sekolah saya tidak ada mata pelajaran khusus mengenai persiapan bencana, lalu bagaimana?

source : BNPB Indonesia


Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui akun officialnya baik di instagram maupun twitter sudah membagikan infografis menarik mengenai perilaku sadar bencana ini, mulai dari prabencana, saat bencana hingga pasca bencana. Kita dianjurkan memiliki satu tas yang berisi makanan, obat, pakaian, dan perlengkapan darurat saat bencana yang bisa digunakan hingga 3 hari. Infografis tersebut berdasarkan Buku Saku Tanggap Tangkas Tangguh Menghadapi Bencana resmi dari BNPB yang bisa langsung di-download gratis di website resmi Perpustakaan BNPB. Buku saku ini sangat lengkap, terdapat panduan persiapan hingga tindakan pasca bencana mulai dari bencana gempa bumi hingga kekeringan. 

source : BNPB Indonesia


Selain buku saku, kita juga bisa men-download buku-buku lain seputar bencana seperti Panduan Kesiapsiagaan Bencana untuk Keluarga, tinggal memasukkan kata kunci buku yang dicari pada kolom pencarian di halaman utama website.

source : BNPB Indonesia


Selain itu BNPB juga membuka kesempatan untuk siapapun yang ingin berkunjung ke diorama BNPB dan mempelajari seputar bencana dengan mengirimkan email pengajuan.

source : BNPB Indonesia


Bagaimana saya mengetahui potensi bencana apa saja yang ada di wilayah saya?
Kita dapat mengakses website inaRISK yang merupakan portal yang menyajikan gambaran ancaman bencana, populasi terdampak, potensi kerugian hingga potensi kerusakan lingkungan. Kita juga dapat men-download e-book inaRISK Panduan Mengetahui Risiko Bencana dan Risiko Bencana Indonesia melalui menu pada halaman utamanya. Informasi risiko bencana ini sangat berfungsi bagi kita untuk mengenal bahaya apa saja yang mungkin terjadi di wilayah kita, karena setiap wilayah memiliki kemungkinan bencana yang berbeda-beda, sehingga kita bisa lebih mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan terburuk.

source : inaRISK


Pengetahuan seputar bencana ini sangat penting diketahui dan dipahami bagi baik orang dewasa hingga anak-anak, karena jika kondisi yang terburuk terjadi dan kita diharuskan mengungsi, bantuan dari pemerintah setempat tentunya tidak bisa instan datang saat itu juga, saat itulah pengetahuan dan kesiapan kita berfungsi untuk bertahan hidup di pengungsian sebelum bantuan datang dan menjaga kita tetap tenang meskipun sedang dalam kondisi yang terburuk. Kesiapan tiap individu dalam menghadapi bencana ini hendaknya dijadikan sebagai keseharian. Prof. Katsuya Yamori merekomendasikan seikatsu bosai (everyday preparedness) yang bertujuan untuk menanamkan kesiagaan akan bahaya bencana dalam kegiatan sehari-hari, bukan sebagai kegiatan pelengkap saja.  Pada akhirnya sikap waspada dan persiapan di keseharian masing-masing individu ini akan menjadi kebiasaan dan budaya sadar bencana yang meningkatkan kemampuannya untuk hidup bersama bencana, bukan hidup sebagai korban bencana.

Jika tidak terjadi bencana di tempat saya, apa yang bisa saya lakukan untuk mewujudkan gojo / kyojo (mutual aid) ?
Selain memberikan bantuan berupa donasi dan menjadi relawan, kita dapat membantu secara tidak langsung dengan menghindari dan memutus rantai hoax. Berita palsu sering beredar terutama lewat media sosial yang sumbernya tidak diketahui akan memperparah kondisi daerah yang terkena bencana, menyebarkan kecemasan pada korban bencana atau bahkan membuat penduduk setempat enggan mengungsi dalam keadaan darurat. Hal ini tentunya tidak akan sejalan dengan tujuan budaya siaga bencana untuk mengurangi risiko akibat bencana. Ditambah lagi para korban bencana sudah mengalami ketakutan mengenai bencana itu sendiri, ketakutan kehilangan keluarga dan harta benda, dan juga ketakutan yang timbul saat mereka menyadari berapa lama waktu yang dibutuhkan agar semuanya kembali pulih. Sehingga, selain bantuan fisik , bantuan mental pun sangat dibutuhkan.

source : BNPB Indonesia


Kita tidak perlu menunggu hingga teknologi super canggih ditanamkan dalam sistem penanganan bencana di Indonesia. Kita mulai dari sekarang, tingkatkan kesadaran tentang bahaya bencana, kenali bahayanya, kurangi risikonya. Saat kesadaran ini sudah menjadi bagian hidup masyarakat, maka masyarakat sudah siap untuk selamat, bersama-sama memimimalisir korban akibat bencana dan saling bantu dalam pemulihan pasca bencana.

Seperti yang dinyatakan dalam akun twitter resmi BMKG, tidak ada teknologi yang mampu mengetahui secara persis dimana dan kapan sebuah bencana akan terjadi. Hal ini juga dinyatakan dalam berbagai artikel publikasi para peneliti Jepang. Bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, tanah longsor, maupun angin topan tidak bisa dicegah datangnya, yang bisa dilakukan hanya meminimalisir jumlah korban jiwa melalui manajemen bencana alam yang terus diperbarui seiring waktu. Saya teringat perkataan seorang teman dari Jepang bahwa mereka bukanlah sebuah negara yang tiba-tiba ahli dalam manajemen bencana, mereka hanya terbiasa dan selalu belajar dari bencana yang telah terjadi untuk terus memperbaiki sistem yang ada. Kita pun seperti itu, kemampuan kita untuk menghadapi bencana, akan terus berkembang jika budaya sadar bencana terus dihidupkan.

Pada akhirnya, tidak ada yang terjadi tanpa tujuan, begitu pula bencana. Bencana datang entah untuk memperingatkan manusia untuk lebih memperhatikan alam, untuk membuat manusia lebih menghargai kebaikan sesamanya, atau untuk menguji sejauh mana kemampuan manusia untuk bangkit kembali. Mari kita belajar untuk membangkitkan kesadaran menghadapi bencana dimulai dari diri sendiri. Mari membuat Indonesia menjadi lebih baik lagi.


Referensi :
1) LIVE BLOG : Hokkaido Earthquake, NHK NEWSLINE
2) Kitagawa, Kaori (2016) ‘Disaster preparedness, adaptive politics and lifelong learning: a case of Japan’, International Journal of Lifelong Education, 35(6), pp. 629-647
3) The Miracle of Kamaishi, MADE IN NEW JAPAN
4) BNPB – Badan Nasional Penanggulangan Bencana
( Website : https://bnpb.go.id/  ; Twitter : @BNPB_Indonesia ; Instagram : @bnpb_indonesia )
5) Perpustakaan BNPB
6) Kitagawa, Kaori (2016) ‘Preparing for the Worst’, EASTASIAFORUM
7) inaRISK
(http://inarisk.bnpb.go.id/ )

You May Also Like

0 comments

Comment moderation is on. Send your comments using Google account or blog URL, so that I can visit your blog next time :) Thank you

This Blog is protected by DMCA.com
DMCA.com for Blogger blogs